Never Walk Alone To Halong

TONGGAK KEHIDUPAN

Dari kejauhan puncak Gunung Jambangan tampak diselimuti kabut. Nu’ding baru saja selesai mempersiapkan peralatan kerjanya yang terdiri mesin pemotong kayu (chainsaw), sipat (benang untuk meluruskan ukuran), busi cadangan, oli, bensin, dan sepeda pancalnya. Perlahan ia kemudian melangkah ke dapur. Tampak isterinya Halmiah sedang menyiapkan sarapan terdiri dari ubi rebus dan ikan kering. Dari kejauhan masih terdengar suara orang sedang membaca shalawat tanda shalat subuh telah selesai.

Sejak tak lagi pergi melaut, Nu’ding bekerja pada H. Sahide, orang kaya di kampungnya. Desa tempat Nu’ding tinggal bersama isteri dan seorang anaknya, berada dekat dengan tepi laut, dan juga tak seberapa jauh dari perbukitan. Alam desa dimana Nu’ding dilahirkan dan dibesarkan, cukup indah dengan pemandangan laut serta perbukitan dan gunung yang ditumbuhi pepohonan besar. Kehidupan warga desa selain pergi melaut untuk mencari nafkah sebagai nelayan, ada pula yang hidup menjadi petani. Nu’ding sebenarnya berasal dari keluarga nelayan. Kakek, ayah, dan saudaranya hidup sebagai nelayan. Itulah sebabnya Nu’ding memilih jalan hidupnya sendiri, berhenti jadi nelayan. Keahlian Nu’ding menebang kayu dengan menggunakan chain saw (sinso) ia peroleh ketika ia menjadi pembantu dari Usman, seorang penegang kayu dari Negara.

Nu’ding mengayuh sepeda pancalnya ke arah barat. Kemarin ia mendapat kabar dari seorang petani tetangganya, di sekitar kebunnya masih banyak terdapat tonggak-tonggak kayu ulin. Tonggak ulin itu dinamakan tunggul, bekas sisa tebangan sebelumnya. Karena ukurannya yang masih panjang dapat dibikin balok-balok pendek, atau diolah menjadi sirap (atap dari kayu).
Lumayan jauh menuju kebun tetangganya itu, hampir 2 pal (kilometer). Dengan bersepeda pancal, menempuh perbukitan, Nu’ding akan sampai di kebun tersebut sekitar hampir 1 jam.

Memang benar di sekitar kebun tetangganya itu masih terdapat beberapa tunggul yang lumayan besar dan tinggi hampir 1 meter. Nu’ding menghitung ada 6 tunggul. Nu’ding pun menyiapkan peralatan tebangnya.
Matahari pagi mulai memancarkan sinarnya yang kemilau bak emas yang menembus awan. Pagi yang cerah itu dipecahkan oleh raungan bunyi sinso yang sayup-sayup terbawa angin menembus ranting-ranting semak mengalahkan kicau burung-burung yang seang bertengger di dahan pepohonan.
Sekitar setengah jam kemudian satu tunggul telah terpotong oleh Nu’ding. Nu’ding beristirahat sejenak untuk minum, merokok, dan menyantap ubi rebus bekal yang ia bawa dari rumah. Setelah menghabiskan sebatang rokok, Nu’ding pun kembali melanjutkan pekerjaannya memotong tunggul lainnya. Matahari telah bergeser ke arah barat, pekerjaan Nu’ding memotong tunggul telah selesai. Kini ia mulai memotong-motong tunggul itu menjadi berbagai ukuran sesuai yang dikehendaki oleh pembeli.
Hingga hari menjelang maghrib, pekerjaan Nu’ding mengolah tunggul belum selesai. Ia pun merapikan pekerjaannya, memisahkan antara tunggul yang belum diolah dari yang sudah berbentuk jadi. Selanjutnja ia menutupi hasil pekerjaannya dengan daun pepohonan agar tak kentara dilihat orang. Setelah menaikkan semua peralatannya ke sepeda pancal, Nu’ding pun mengayuh menuju pulang.

Hampir seminggu Nu’ding bolak-balik ke tempat pekerjaannya. Kini semua tunggul-tunggul ulin itu telah berubah menjadi bahan jadi berbagai ukuran. Hari ini ia Nu’ding akan pergi menemui H. Sahide. Ia akan minta juragannya itu mempersiapkan mobil angkutan untuk membawa hasil pekerjaannya.
H. Sahide sumringah mendengar laporan hasil pekerjaan Nu’ding. Ia pun memanggil sopir angkutannya agar mempersiapkan diri. H. Sahide tampak puas mengetahui Nu’ding bekerja dengan baik. Itu berarti ia tak malu bila mitra dagangnya dari Bati-Bati dagang membeli kayu.
Kayu hasil olahan sinso oleh Nu’ding telah tertumpuk di gudang H. Sahide. Setelah diukur hasilnya lebih dari 2 meter kubik. Ini berarti jika dijual, Nuding akan memperoleh hasil sebesar sepertiga bagian setelah dibagi untuk pemilik dan sinso yang dipakai.

Nu’ding menerima bagian hasilnya bekerja 2 hari kemudian. Lumayan dalam minggu ini ia bisa membeli beras beberapa gantang, dan keperluan lainnya, serta membayar biaya sekolah Ancah, anaknya yang sedang duduk di kelas 4 SD.
Nu’ding memutuskan untuk istirahat selama 2 hari. Ia telah mendapat ijin dari H. Sahide. Waktu istirahat ini biasanya dipergunakan Nu’ding untuk mencari lokasi baru. Ia akan mencari informasi dari beberapa warga yang biasa sering keluar masuk hutan sebagai peladang berpindah. Atau Nu’ding nongkrong di warung kopi milik Mang Husin yang terletak di tengah desa. Disini tiap hari banyak warga yang kumpul. Mereka yang tak pergi melaut atau ke ladang, suka nonkrong di tempat Mang Husin. Ada yang main gaple, main catur, ada pula yang cuma duduk makan minum sambil ngelantur. Namun tak jarang disini juga ada warga yang membawa informasi berguna. Seperti hari ini ketika banyak pengunjung di warung kopi Mang Husin, seseorang mampir. Tampaknya ia habis melakukan perjalanan dari arah kota mengendarai sepeda motornya.
“Dari mana, Din” tanya Mang Husin kepada tamu yang tampaknya telah ia kenal.
“Dari kota, Mang ?” balas tamunya sembari mengambil tempat duduk.
“Ada kabar apa, maksudnya informasi apa ?” ralat Mang Husin.
“Kabar baik aja. Tapi tadi saya ada ketemu beberapa Polisi Hutan dan Polisi Polres sedang menuju ke arah sini. Informasinya mereka akan melakukan razia kayu,” ungkap Udin, tamu yang barusan datang.
Nu’ding yang mendengar percakapan antara Mang Husin dengan Udin, menjadi tertarik.
“Kamu tadi ketemu mereka dimana,” tanya Nu’ding kepada Udin yang tinggal di desa tetangga.
“Kira-kira 4 pal dari luar kota,” sahut Udin.
Dalam pikiran Nu’ding para Polisi itu paling-paling setengah atau 1 jam lagi akan telah berada di desanya.

Dari beberapa warga desa tetangga yang kebetulan melintas dan mampir di desa Nu’ding, diperoleh kabar para Polisi yang sedang razia kayu itu telah mengamankan kayu-kayu milik warga berikut pemiliknya. Mereka bahkan menyita kayu-kayu yang akan dipakai warga untuk membangun rumah.
“Sungguh keterlaluan para Aparat itu. Masa kayu untuk mengganti tiang dan dinding rumah pun disita,” cetus seorang warga.
“Untung pemiliknya tak ikut diangkut,” timpal seorang warga lainnya.
Nu’ding pun mendengar dari seorang temannya yang tinggal di kota, beberapa galangan tempat berjualan kayu berikut pemiliknya juga diamankan pihak Kepolisian.
Mengetahui kenyataan seperti ini, pikiran Nu’ding jadi ikut pusing. Ini artinya ia bakal tak bisa bekerja untuk waktu yang tak dapat ditentukan. Memang semenjak Kapolres Kota dijabat oleh AKBP Agus Prihadi, aparat kepolisian gencar melakukan razia kayu yang mereka katakan ilegal.
Padahal seingat Nu’ding, Kapolres sebelumnya masih mau mengerti terhadap pekerjaan warga. Menurut yang ia dengar dan ketahui, juragannya H. Sahide ia lihat sering kedatangan tamu dari kepolisian ke rumahnya. Oknum Polisi itu kabarnya datang mengambil jatah karena H. Sahide bisnis kayu. Nu’ding pun pernah melihat beberapa orang berpakaian biasa menemui H. Sahide. Mereka membawa kamera dan peralatan yang Nu’ding tak tahu kegunaannya. Menurut beberapa tetangganya, mereka itu adalah Wartawan. Entah untuk apa para Wartawan itu menemui H. Sahide, Nu’ding tak mengetahuinya. Yang jelas ia tak pernah dengar atau membaca koran yang memberitakan H.Sahide jualan kayu.

Puncak Gunung Jambangan masih tetap menjulang menantang langit. Pucuk-pucuk pohon pinus bergoyang bak menari ditiup angin sore. Senja temaram seburam lampu listrik yang berasal dari mesin diesel. Pikiran Nu’ding galau. Ia menatap hampa Gunung Jambangan dari kejauhan. Nu’ding belum mendapat jawaban apakah hari esok masih menyisakan harapan bagi diri dan keluarganya untuk meraih masa depan.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar” panggilan Illahi menyeru umatNya agar segera meninggalkan sejenak urusan dunia. Nu’ding pun beranjak dari tempat duduknya, melangkah menuju ke arah suara panggilan Illahi itu.
(kisah ini hanya fiktif, hasil rekaan. Jika terdapat kesamaan nama Tokoh Pelaku, tempat, dan karakter, itu cuma kebetulan/090123)

AKU PELAYAN ISTRIKU

Bunyi dari pengeras suara mengajak umat Islam agar shalat subuh, terdengar lamat-lamat dari sebuah surau yang terletak di utara desa. Amran yang sedang kedinginan dibalut sarung, pelan-pelan membuka matanya. Jenah isterinya tampak masih sedang tidur lelap terbungkus selimut tebal. Selama beberapa minggu ini udara menjadi amat dingin menjelang dini hari. Hal ini mungkin disebabkan semakin jarangnya pepohonan yang tiap hari terus bertumbangan dibabat untuk kegiatan pertambangan batubara. Amran turun dari ranjang kemudian membuka pintu kamar berjalan keluar. Ia membuka kamar anaknya. Tampak Mira yang kini duduk di kelas 5 SD, dan adiknya Hendra yang masih berumur 4 tahun, sedang tidur lelap seperti ibu mereka.
Amran menutup kamar anaknya, melangkah  ke kamar mandi. Ia membasuh muka, kemudian berjalan menuju ke arah dapur, mengambil segelas air putih dan meminumnya hingga tandas. Tenggorokannya terasa segar sehabis minum air. Ia pun pergi mengambil rokok yang berada di meja ruang tamu. Amran menyulut rokok, menghirupnya pelan-pelan. Ini kebiasan Amran setiap ia bangun tidur, segelas air putih dan rokok.

Sebatang rokok telah dihabiskan Amran. Selanjutnya ia mengambil sapu. Amran mulai menyapu dari ruang tamu hingga ke bagian dapur. Usai menyapu ia pun mengepel lantai pelataran depan dan samping rumahnya. Sejenak ia tercenung mengingat beberapa tahun silam ketika ia masih tinggal di rumah kontrakan bersama keluarga kecilnya. Berkat kegigihannya kini Amran dapat membangun rumah sendiri dengan ukuran yang cukup besar dibanding rumah-rumah tetangga di sekitarnya.
Amran tersentak lamunannya, kembali melanjutkan pekerjaan rumah yang menjadi rutinitasnya tiap pagi. Kali ini ia mengumpulkan semua pakaian kotor miliknya, serta milik isteri dan anak-anaknya. Semua pakaian kotor itu ia rendam di larutan detergen dalam baskom besar. Cucian itu ia biarkan selama hampir setengah jam. Sambil menunggu rendaman cucian, Amran kembali menyulut rokok.

Semua pakaian kotor telah dicuci Amran. Pekerjaan lainnya yang akan dilakukan Amran adalah memasak, kemudian menggoreng telur dan mie instant. Makanan untuk sarapan pagi ini pun telah ia siapkan di meja. Amran berjalan ke arah kamar tidur anaknya. membangunkan Mira dan Hendra agar segera pergi mandi. Hari ini Senin, kedua anaknya akan pergi ke sekolah. Mereka diantar Amran menggunakan sepeda motor. Mira bersekolah di SD yang berada di seberang jembatan desa, sedangkan Hendra masih duduk di TK yang tak jauh dari sekolah kakaknya.
Kedua anaknya telah selesai mandi. Mira mencari pakaian dan mengenakannya sendiri. Pakaian Hendra diambilkan ayahnya, dan ayahnya pula yang memasangkan ke tubuhya.
Kini kedua anaknya pun telah berpakaian rapi. Berikutnya Amran membangunkan isterinya yang tampak masih tertidur lelap. Hari telah menunjukkan pukul 06.47 waktu setempat. Jenah yang terlihat masih mengantuk menggerakkan tubuhnya, melepas selimut, dan beranjak dari ranjang sambil berjalan agak sedikit sempoyongan menuju keluar kamar tidur. Amran mengikuti isterinya dari belakang menuju kamar mandi. Sambil menunggu giliran mandi sesudah isterinya, Amran menyulut rokok dan memeriksa buku catatannya untuk kegiatan hari ini. Amran telah menulis beberapa nama Pejabat Pemkab dan Bos perusahaan tambang batubara yang akan ia temui hari ini untuk keperluan konfirmasi. Pekerjaan sebagai Wartawan pada sebuah Koran mingguan yang terbit di Pulau Jawa, telah ia tekuni selama lebih dari 5 tahun. Pekerjaan ini telah memberinya banyak materi ; rumah beserta perabotnya, sepeda motor, dan sejumlah simpanan yang ia tabung untuk masa depan keluarganya.

Jenah telah selesai mandi, kini giliran Amran. Kedua anak dan isterinya itu sarapan pagi tanpa menunggu kehadiran Amran di meja makan. Amran telah terbiasa sarapan pagi dari sisa yang dimakan anak dan isterinya.
Jenah isteri Amran merupakan wanita yang tiap perkataan dan keinginannya tak boleh ditentang siapapun tak terkecuali suaminya sendiri. Paras yang cukup cantik dengan kulit bersih, membuat Jenah amat disayangi Amran. Tiap keinginan Jenah yang ia sampaikan kepada suaminya tak akan ditolak, Amran pasti akan berupaya maksimal mewujudkan keinginan isterinya itu. “Jika saja aku duluan mati daripada isteriku, aku akan mati penasaran. Arwahku akan mengganggu tiap orang yang bermaksud akan mengawini isteriku,” ungkap Amran ke salah seorang teman dekatnya. Entah Amran serius dengan perkataannya itu, atau cuma ungkapan rasa sayang dan cinta terhadap isterinya.

Usai sarapan Amran menyiapkan segala peralatan kerjanya terdiri dari kamera digital, perekam suara, flashdisk dan lainnya yang ia masukkan kedalam ransel berikut puluhan lembar Koran edisi terakhir yang akan ia berikan ke tiap orang yang dikonfirmasinya. Amran pun tak akan memberikan korannya jika orang yang dikonfirmasi tersebut tak mengerti dengan menyelipkan amplop terlebih dulu kepadanya. Bagi Amran tiap lembar Koran yang ia berikan harus bertukar dengan uang pengganti.
Amran pun mengambil HP-nya, namun tak menghidupkannya. HP jenis komunikator itu ia masukkan saja ke tempatnya yang tergantung di pinggang. Amran hanya akan mengaktifkan HP-nya jika telah berada jauh dari rumahnya. Ia akan sangat kuatir bila tiap panggilan masuk maupun SMS akan ditanya isterinya. Makanya Amran pun tak akan memberikan nomor HP-nya ke sembarang orang, apalagi perempuan.

Semua sudah beres. Amran menurunkan sepeda motornya yang baru sekitar 4 bulan ia beli. Kedua anaknya telah siap diantar ke sekolah. Sementara itu Jenah sedang menjemur pakaian yang telah dicuci Amran sebelumnya. Setengah berteriak Amran memberi tahu kepergiannya dan anak-anaknya meninggalkan rumah. Amran pelan-pelan mengendarai sepeda motornya menuju sekolah anaknya. Lalu lintas amat padat tiap pagi karena mereka yang berangkat ke sekolah, ke kantor, dan para ibu rumah tangga yang pergi ke pasar desa.
Perjalanan Amran masih jauh sekitar hampir 50 kilometer untuk mencapai ibukota kabupaten. Di sebelah tikungan sekitar setengah kilometer dari sekolah anaknya, Amran menghidupkan HP-nya. Beberapa SMS masuk dari teman-teman seprofesi Amran. “Langsung saja ke Humas, ambil insentif bulan ini sudah keluar,” bunyi SMS dari Toni, teman Amran yang korannya jarang terbit. Toni lebih pandai cari duit ketimbang mencari dan menulis berita. Gayanya pun lebih mirip anggota DPRD yang banyak bicara daripada bekerja. SMS lainnya berasal dari temannya yang bernama Dian, “Ambil uang liputan di tempat wartawan Berkala Post.”
Beberapa miscall juga masuk, salah satunya dari teman dekat Amran bernama Denny. Amran tidak membalas SMS teman-temannya. Ia menelpon balik Denny.
Amran : “Dimana nih ?”
Denny menyahut, “di Humas, langsung saja kesini.”
Amran : “Aku masih di jalan, tunggu aja sekitar 40 menit.”
Denny : “Ya, aku tunggu aja di warung Kang Didi.’
Amran mematikan HP-nya, membetulkan helm, dan melaju kencang.

Terkecuali hari libur, Amran telah terbiasa tiap hari menempuh perjalanan dari rumahnya ke ibukota kabupaten. Satu hal yang wajib ia penuhi adalah, harus membawa uang pulang ke rumah. Isterinya pasti akan mengomel panjang lebar jika sampai Amran pulang tanpa hasil. Dan isterinya pun akan selalu menelponnya menanyakan apakah Amran telah dapat uang atau tidak sebelum pulang ke rumah. Semua penghasilan Amran setiap hari yang berasal dari pekerjaannya sebagai Wartawan, akan diambil isterinya. Amran hanya akan diberi uang untuk pembeli bensin dan rokok saja.

Sepanjang perjalanan pikiran Amran hanya tertuju ke Humas yang harus ia capai segera. Insentif bulan ini sebesar Rp. 500 ribu, ditambah Rp. 100 ribu yang berasal dari uang liputan. Ia pun telah menyiapkan kliping berita kegiatan Pemkab sebanyak 15 kliping yang akan ia tagih sebesar Rp. 750 ribu.
Setibanya di komplek perkantoran Pemkab, Amran menuju ke warung Kang Didi. Disini biasa menjadi tempat kumpul para Wartawan sebelum ke Bagian Humas dan menemui para Pejabat. Apalagi disini tak jarang Kepala Dinas dan Bagian, juga pengusaha mampir untuk sarapan pagi. Keberadaan mereka ini adalah keberuntungan bagi Wartawan yang cukup dikenal mereka. Tak jarang pula mereka bagi-bagi rejeki ke para Wartawan.

Warung Kang Didi seperti pagi sebelumnya terus ramai oleh pengunjung. Tampak beberapa Kepala Dinas sedang sarapan pagi. Amran melangkah masuk menuju tempat Denny duduk sambil menyapa para Kepala Dinas. Amran memesan teh hangat manis, sementara Denny tampak sedang membalas SMS yang masuk ke HP-nya.
“Kamu sudah dari Humas ?” tanya Amran ke Denny.
“Sudah, punyaku sudah aku ambil. Nanti aku temani kamu ke Humas,” balas Denny sambil terus memencet HP-nya.
Seorang Kepala Dinas yang duduk dekat Amran dan Denny menyapa, “Nggak makan ?”
Amran menyahut, “Sudah pak, kami minum aja.”
Kembali Kepala Dinas itu bicara, “Kalo nggak makan, silakan ambil rokok atau apa, nanti saya yang bayar.”
Sambil berkelakar Amran menjawab, “Gampang aja pak, kita minta yang mentahnya saja.”
Pejabat itu hanya tersenyum mendengar jawaban Amran.

Amran beranjak sebentar melangkah ke tempat etalase rokok. Ia mengambil 2 bungkus untuknya dan Denny. Ia pikir mumpung ada yang bersedia membayari. Setelah beberapa lama, Kepala Dinas yang telah selesai sarapan itu mendekati meja Amran. Ia mengangsurkan 2 lembar uang kertas ratusan ribu rupiah. “Ini mentahnya, bagi berdua,” ucap Kepala Dinas yang diisukan sering main perempuan itu.
Pejabat itu menjauh membayar makanan dan minumannya berikut minuman dan rokok Amran dan Denny.
“Yuk duluan,” ujarnya lagi.
“Terima kasih pak,” sahut Amran dan Denny serempak.
Tak berapa lama setelah Pejabat itu pergi Amran dan Denny pun keluar menuju ke Bagian Humas. Sementara itu pengunjung lainnya pun mulai beranjak satu per satu menuju ke tempat kerjanya masing-masing.
(Cerita ini cuma fiktif, hasil rekaan. Jika terdapat kesamaan karakter, tempat lokasi, dan nama pelaku, itu hanya kebetulan)

CINTA SEBATAS MEJA


Malam telah semakin larut. Para pedagang yang sejak dari tadi pagi membuka toko dan menggelar dagangannya, satu persatu telah pula menutup serta merapikan dagangan mereka. Namun tak seberapa jauh, jarak belasan meter dari lokasi pasar induk, para penjual makanan dan minuman masih ramai melayani pembeli.  Deretan warung kopi  yang dijaga para wanita muda, kursinya tampak masih penuh oleh pengunjung. Terlihat pula beberapa gerombol anak muda yang sedang main gitar mendendangkan lagu-lagi cinta. Sambil menyanyi mereka bergiliran menerima minuman beraroma alkohol dalam gelas secara bergiliran. Sesekali lewat mobil trailer yang mengangkut alat berat ke arah lokasi pertambangan. Di tepi jalan umum propinsi, di depan kumpulan warung makan dan warung kopi itu, para Penjaga Parkir masih sibuk mengatur kendaraan yang akan mampir dan keluar.

Di sudut yang agak remang tak jauh dari sebuah warung makan yang selalu ramai pengunjung, seorang anak muda sedang duduk di atas beton penguat selokan. Cahaya temaram dari penerangan warung makan gagal menyembunyikan wajahnya yang tampak kusut. Fahrul amat menyesali kejadian siang tadi. Semestinya ia tak ikut teman-temannya bermain judi kiu-kiu. Uang penghasilannya menjaga parkir selama 5 hari, kini hanya sisa untuk membeli sebungkus rokok murahan. Ia merogoh telpon genggamnya, mengecek sisa pulsa, cuma tinggal untuk mengirim pesan singkat beberapa kali.
Fahrul menulis pesan, mengirimnya ke nomor Yani teman akrabnya. Ia meminta agar temannya itu menemuinya. Tak berapa lama balasan pun terdengar dari telpon genggam yang susah payah ia beli dengan menabung selama hampir 4 bulan itu. Yani meminta Fahrul agar menunggunya sekitar seperempat jam.

Sambil menunggu Yani, Fahrul memperhatikan para pengunjung warung makan yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Beberapa pengunjung ada yang datang menggunakan mobil, yang lainnya naik sepeda motor. Fahrul tak begitu serius mengamati para pengunjung itu. Yang sejak tadi terus menggoda pikirannya adalah salah seorang pelayan warung makan itu yang bernama Mira. Gadis berkulit bersih berambut sebahu itu baru setengah bulan menjadi pelayan di warung makan milik Bu Isah. Fahrul mengenal gadis itu sekitar seminggu yang lalu ketika sempat melayani Fahrul makan disana.
Mira gadis yang ramah. Meski wajahnya tergolong biasa, namun sepertinya Fahrul tak bosan memandangnya. Pembawaan Mira yang tidak sombong, murah senyum, dan enak diajak ngobrol, membuat Fahrul menaruh hati terhadap gadis pelayan warung itu. Ketika Fahrul meminta nomor telpon genggam milik Mira, gadis itupun dengan mudah memberikannya. Sehari saja Fahrul tak punya kesempatan memandang wajah Mira, rasanya ada sesuatu yang hilang didalam diri Fahrul.

Kedatangan Yani membuyarkan lamunan sesaat Fahrul. “Ngapain kamu nongkrong disini sendiri gelap-gelapan ?” tegur Yani. “Lagi apes, nggak ada modal duduk di warung,” sahut Fahrul.
“Yan, kamu ada modal nggak ?” balik Fahrul. “Ada sih, nggak banyak, untuk apa ?” timpal Yani.
“Kalo ada modal mending beli botol Topi Miring buat menghilangkan sumpek,” ajak Fahrul. “Boleh juga idemu,” singkat Yani.

Yani mengeluarkan uangnya, kemudian memanggil salah seorang Tukang Ojek yang pangkalannya hanya belasan meter dari tempat mereka duduk. Yani memesan minuman keras merk Topi Miring dengan mengupah Tukang ojek tersebut. Sambil menunggu kedatangan minuman pesanan mereka, keduanya tampak serius membicarakan sesuatu.
“Yan, gimana menurutmu jika aku mendekati Mira ?” tanya Fahrul minta pendapat.
“Nggak masalah ! Tapi kamu mesti ulet, karena tampaknya para pengunjung beberapa diantaranya ada pula yang punya niat sama seperti kamu,” ungkap Yani.
“Ah, paling-paling lelaki yang sering pakai mobil hitam itu” balas Fahrul.
“Nah, itu dia ! Justru itu saingan beratmu,” timpal Yani.

Selama beberapa hari memperhatikan warung makan Bu Isah, Fahrul selalu melihat mobil hitam parkir di depan. Biasanya mobil itu berada disana sekitar tengah hari, dan malam. Pemilik mobil selalu bersama temannya seorang pria dewasa berkulit sawo matang. Sedangkan pemilik mobil itu tak jauh beda dari temannya. Berperawakan sedang, tidak gemuk, bahkan terlihat agak kurus. Yang menarik dari pria itu adalah hampir setiap orang menyapanya. Dari beberapa orang yang Fahrul kenal mengatakan pria itu seorang pengusaha pertambangan batubara yang lagi naik daun.

Dari tempat duduk Fahrul tampak Yani yang berjalan ke arahnya sambil menenteng bungkusan plastik berwarna hitam. Yani mengambil tempat duduk di sebelah kiri Fahrul yang agak terlindung dari penglihatan orang yang lalu lalang di depan warung.
“Kita minum dimana nih ?” tanya Yani.
“Disini aja. Pesan teh es manis di warung sama beli kacang untuk peluncur,” jawab Fahrul.
Yani meletakkan bungkusan plastik dekat kaki Fahrul. Kemudian ia melangkah menuju warung Bu Isah.

Kedua teman akrab itu pun menikmati Topi Miring yang barusan mereka beli. Sambil bergantian minum keduanya asyik terlibat dalam pembicaraan seputar Mira, gadis pelayan warung Bu Isah.
“Bila nanti aku bisa menaklukkan hati Mira, aku akan bekerja sungguh-sungguh, dan akan berhenti mabuk,” angan Fahrul.
“Yah mudah-mudahan kesampaian, aku sih mendukung aja,” sahut Yani simpati.
Kira-kira setengah jam kemudian keduanya pun telah menghabiskan minuman mereka.
“Kalo kamu masih ada modal, kita ikut nongkrong di warung Bu Isah,” ajak Fahrul berharap ke Yani.
“Tenang aja, aku masih ada kok,” balas Yani yang mengerti keinginan sahabatnya.

Keduanya melangkah menuju warung setelah merapikan botol bekas minuman. Fahrul menuju warung sambil membawa gelas minuman. Ini sengaja ia lakukan agar bisa ketemu dan langsung mengembalikan gelas ke Mira. Reaksi Topi Miring yang telah ia tenggak terasa mulai naik ke syaraf otaknya. Semangatnya dipacu oleh minuman tersebut sehingga percaya diri Fahrul meningkat.
“Sibuk banget nih !” sapa Fahrul sambil mengangsurkan gelas ke Mira.
“Nggak juga !” singkat Mira.
“Kami pesan kopi susu 2 gelas,” kata Fahrul.
“Ya, sebentar,” sahut Mira.
Fahrul pun melangkah menjauhi Mira yang sedang sibuk menyiapkan minuman. Ia mengambil tempat duduk disamping Yani.

Malam semakin larut. Warung Bu Isah mulai ditinggalkan pengunjungnya. Kesibukan Mira dan temannya pun mulai berkurang. Meski warung mulai agak sepi, namun pria bermobil hitam itu tampaknya belum mau beranjak. Ia masih betah duduk dengan temannya sambil sesekali mengajak Mira berbicara.
Fahrul hanya bisa memandang Mira yang sedang berbicara dengan pria tersebut. Padahal dalam hati Fahrul dirinya menginginkan agar semua pengunjung cepat berlalu dari warung. Sehingga ia punya kesempatan untuk dapat berbicara dan mengungkapkan isi hatinya kepada Mira.
Sekian lama ia menunggu hingga dari kejauhan terdengar lantunan ayat suci dari sebuah mesjid, namun pria pengusaha batubara itu tetap masih betah di warung.
Reaksi Topi Miring yang diminum Fahrul telah hilang, kini berganti kantuk. Yani tampak sudah beberapa kali menguap, matanya merah menahan kantuk.
“Yuk kita cabut aja, aku ngantuk banget, besok aja lagi kalo mau nyamperin Mira,” ucap Yani.
“Ya deh, kayaknya malam ini aku nggak punya kesempatan,” balas Fahrul.
Yani pun membayar minuman mereka, dan berlalu pulang.
Malam ini meski perasaan kantuk menyerang Fahrul, tapi matanya tetap sulit terpejam. Pikirannya menerawang kemana-mana memikirkan bagaimana supaya dapat ketemu dan mengungkapkan perasaan hatinya ke Mira.
Hingga terdengar kokok ayam jantan, mata Fahrul baru dapat terpejam.

Fahrul bangun agak kesiangan. Itupun dibangunkan oleh Yani yang datang. Sambil mengucek matanya Fahrul bertanya,” ada apa sih kok kayak penting banget ?”
“Ada kabar nggak enak,” jawab Yani sambil berdiri.
“Kabar apa, jangan bertele-tele,” ujar Fahrul tak sabar.
“Tapi kamu jangan kaget mendengar berita ini,” balas Yani.
“Sudah, langsung aja ngomong,” Fahrul juga tak sabar.
“Aku dapat kabar langsung dari mulut Bu Isah, Mira dilamar oleh pria pengusaha tambang, dan Mira menerima,” ungkap Yani lirih.
Kaget sekaligus kecewa menyatu menyergap perasaan Fahrul saat itu. Ia hanya bisa menerawang ke langit-langit kamar. Gadis yang ia harapkan dapat mengisi relung hatinya, kini hanya meninggalkan harapan yang tak sampai.

Dari desas desus yang Fahrul dengar dari beberapa pekerja warung makan di sekitar tempat Bu Isah, Mira akan dijadikan isteri muda pengusaha tambang itu. Beberapa orang amat menyayangkan keadaan Mira yng mau saja di-poligami. Namun yang lainnya ada pula mendukung keputusan Mira.
“Seandainya aku yang dilamar,biar jadi isteri keberapa aja mau,” ujar Indah tampak agak centil.
“Dasar kamu aja yang nggak bisa lihat cowok berduit,” cibir Maya.
“Daripada terus jaga warung sampai bongkok, emang gue pikirin,” balas Indah tak mau kalah.
“Sudah, sudah ! Mendingan kalian kembali ke warung masing-masing, siapa tahu nanti juga digaet bos berduit,” seru Bu Isah yang kupingnya terganggu oleh ocehan para penjaga warung yang lagi ngerumpi.

Lampu warung mulai menyala kembali. Senja merangkak menuju malam. Kehidupan pun terus bermula dan berputar. Warung Bu Isah kembali ramai dikunjungi. Namun ada yang kurang disana. Mira tak lagi tampak melayani para pengunjung. Mobil hitam itupun ikut lenyap dari halaman parkir. Yang masih ada adalah Fahrul dengan hati yang remuk redam oleh harapannya yang sirna seiring bunga pujaannya dipetik orang lalu.
Yang setia menemani kedukaan hati Fahrul hanya Yani sahabat karibnya, dan Topi miring yang dapat melupakan kekecawaannya meski cuma sekejap

CINTA TERLARANG

“……Tuhan berikan aku hidup satu kali lagi hanya untuk bersamanya, kumencintainya, sungguh mencintainya….”

Lagu The Virgin itu membuatku menerawang dan mengingat seorang teman yang dibalik sikapnya yang banyak bicara namun menyimpan suatu misteri.

Arman, temanku yang di usianya kepala 4, namun masih betah hidup melajang. Mulanya aku pikir ia ragu untuk membina sebuah rumah tangga dikarenakan pekerjaannya yang belum mapan sebagai seorang jurnalis freelance, namun kiranya ada sesuatu hal yang ia sembunyikan dari sisi kehidupannya.
Arman sebenarnya sempat membina sebuah rumah tangga dengan perempuan mancanegara dari negeri jiran. Tapi tak bertahan langgeng dikarenakan kepulangannya ke kampung halamannya di pelosok Kalimantan. Isterinya WN Malaysia menolak ikut Arman.

Sekian lama aku bergaul dengan Arman, memperhatikan sikapnya dalam keseharian, akhirnya aku berkesimpulan ada sesuatu misteri dibalik pribadinya.
Dari pengamatanku yang cukup lama, dibantu oleh sejumlah kenalan Arman lainnya, ternyata Arman menjalin sebuah hubungan “cinta terlarang” dengan seseorang yang masih berstatus isteri orang.

Perempuan yang amat berpengaruh dalam keseharian pribadi Arman, tidak lain merupakan sepupu sekali dari pihak ibu Arman.
Sofia, sepupu Arman yang telah 4 kali berumah tangga, kini hidup bersama suaminya yang ke-4.
Kisah cinta masa lalu antara Arman dan Sofia di kala mereka masih remaja, ternyata tak pernah pupus. Tidak bersatunya mereka sebagai suami isteri yang sah, disebabkan hubungan kerabat yang amat dekat itu. Kiranya perasaan cinta yang dianggap suatu aib ini bagi keluarga mereka, terus berlangsung secara diam-diam, tak dapat pupus oleh waktu dan tempat.

Sekembalinya Arman dari perantauan membuka kembali hubungan cintanya dengan Sofia yang telah memiliki anak perawan.
Meski Sofia berstatus isteri orang, hubungannya dengan Arman terjadi secara diam-diam di saat-saat suami Sofia sedang pergi kerja di sebuah perusahaan tambang batubara.
Status Arman dan Sofia yang diketahui banyak orang memiliki hubungan sepupu, memudahkan keduanya melakukan hubungan cinta terlarang mereka.

Sering kali Sofia memperlihatkan kecemburuannya manakala mendengar Arman menjalin keakraban dengan wanita lain. Bahkan Sofia tak jarang malah mencari tahu tempat tinggal wanita yang menjalin keakraban dengan Arman itu.
Sementara Burhan, suami Sofia, pria pendiam ini lebih berkutat dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Tampaknya ia tidak punya cukup waktu memperhatikan keakraban isterinya dengan Arman yang ia panggil dengan sebutan abang itu.
Tak ada tanda-tanda di wajah Burhan yang membersitkan dirinya menaruh kecurigaan terhadap perilaku isterinya sehari-hari.

Sofia, wanita berperawakan tinggi semampai dengan kulit bersih dan raut wajah cukup cantik. Di usianya yang mendekati 40 tahun, Sofia tampak masih seperti wanita berusia 20 tahunan.
Ah, aku sudah melantur kemana-mana terbawa alunan lagu yang sedang hit itu.